Karena Kamu PANTAS BAHAGIA
Matahari
yang bersinar cerah dengan langit biru membentang indah aku melangkah memulai
hari ini dengan semangat dan optimis bahwa beasiswa S2 ku pasti diterima. Aku
Alana mahasiswa Sastra yang telah menyelesaikan kuliah Sarjana beberapa bulan
yang lalu. Aku mengajukan beasiswa Pasca Sarjana yang awalnya tidak pernah
masuk daftar keinginan ku karena aku ingin pulang ke kota kelahiranku, ke rumah
yang selalu menunggu kepulangan ku, keluarga. Aku ingin berkerja dan mengabdi
sebagai tenaga pendidik di kampung halamanku. Tapi semua rencana berubah saat
itu menyangkut urusan hati.
Airmata
yang tak bisa ku tahan lagi mengalir tanpa ku sadari mendengar berita itu. Ibu
dan kakak ku cemas dan menyetujui keinginanku. Pada hari itu semua bermula.
“Nay,
kamu ada dengar kabar tentang Lisa dan Arman?” aku bertanya kepada salah satu
sahabat terbaikku yang selalu ada buat aku Kinaya.
“Kabar
apa dulu ni Al?”
“Kabar
kalau mereka lagi dekat, kan kamu juga temen dekatnya Lisa”
“Nggak
ada Al, Lisa nggak ada cerita soal Arman, memang nya Lisa kenal dengan Arman
ya?” Kinaya menjawab pertanyaan ku dengan ragu, aku tahu dia memnyembunyikan
sesuatu. Tapi saat inilah dia menunjukkan kalau dia sedang tidak ingin mengadu
domba teman-temannya. Aku merasa terluka dengan sikapnya tapi dia melakukan hal
yang benar.
“Iya
kenal Nay, kan mereka pernah satu TK dulu, kata nya sih abis reuni gitu mereka
dekat. Aku dengar dari temannya Arman”
“Haaa
serius kamu Al, lah bukannya Kamu udah lama suka sama Arman ya Al? Loh Arman
sama kamu bukannya selalu sama-sama ya Al, kok bisa sih Al?”
“Aku
juga bingung Nay, Arman selalu baik sama aku, dia baik juga sama keluarga aku.
Sikapnya yang penyayang dari kita SMP dulu sampai sekarang nggak pernah
berubah. Tapi belakangan ini dia sedikit menjauh Nay”. Kinaya adalah sahabat
yang selalu mendengar kisah-kisah ku, dari jaman SMP ku sampai kuliah ku tak
pernah ku lewatkan sedikitpun kisahku untuk berbagi dengannya. Termasuk tentang
Arman laki-laki yang telah menjadi sahabatku dari SMP sampai sekarang, mungkin.
Arman juga adalah cinta pertama ku meski dia tidak pernah tahu itu. Entah sejak
kapan semua bermula dari wisata sekolah saat dia bersandar dibahuku, atau saat
ulang tahun ke 15 tahun saat dia membawakan boneka beruang besar untukku, atau
saat dia tak peduli hujan deras datang menjemput ku untuk mengantar ku pulang
ke rumah. Bagaimana rasa sayang dan kagum itu tak berubah jadi cinta kalau
perlakuannya benar-benar diluar kendali ku. Aku jatuh cinta tapi aku tahu itu
tidak dibenarkan. Maka aku menyimpannya, sejak aku menyadari perasaan ku, aku
menyimpannya karena Arman sudah punya pacar.
Saat
kuliah aku dengan sabar mengendalikan semuanya, hingga kabar putusnya dia
membuatku jadi wanita jahat karena aku sangat bahagia. Dan lagi dia datang ke
kos ku menjadikan aku pelariannya tapi aku tak peduli. Aku tetap dengan
ketulusan ku menghiburnya “Bagaimana bukan cinta ini namanya oh tuhan” ucapku
dalam hati. Selang satu tahun putusnya Arman dengan pacarnya, aku dan dia pun
menyelesaikan kuliah dengan gelar yang berbeda tentunya. Aku pikir Arman
menyadari perasaan ku, meski dengan kode dan sinyal yang sangat jelas ternyata
Arman tidak pernah tahu dan sadar bahwa ada aku di sampingnya. Dia kini
mendekati teman ku Lisa, teman yang sangat baik hingga aku tidak sanggup
mengatakan kepada Lisa bahwa laki-laki itu adalah orang yang selama ini ku
ceritakan, orang yang selama ini jadi penyemangat ku, bagaimana bisa aku
mengatakan padanya bahwa dia laki-laki yang ku cintai dengan sepenuh hati
meskipun dia tidak pernah tahu.
“Nay
aku harus gimana, rasanya sakit banget dan aku nggak bisa dan nggak rela kalau
teman baik aku yang jadi pendampingnya Arman, please Nay kasi aku saran” Isak
ku pada Kinaya. Kami pun menangis bersama, karena begitulah Kinaya yang cengeng
itu mungkin teringat kisah cinta segitiga juga dengan teman baik yang sama
yaitu Lisa. Entah mengapa harus Lisa lagi yang jadi segitiga ini, tapi untuk
kisah ini aku merasa ada di posisi Lisa saat Kinaya dan Mahesa bersama. Aku
tahu rasanya tapi tetap saja aku tidak ingin orang yang aku jadikan teman
baikku duduk bersanding dengan orang yang aku cintai. Aku mengenal Lisa sejak
SMA namun kami menjadi dekat setelah Kinaya dan Lisa bersahabat, karena
begitulah Kinaya selalu ingin merangkul semua sahabatnya. Kinaya pernah
menyukai orang yang sama dengan Lisa meski pada akhirnya laki-laki itu memilih
Kinaya. Tapi untuk kisah mereka, baik Kinaya, Lisa, dan Mahesa saling jujur
atas perasaan mereka maka berakhir dengan tidak menyakiti Lisa yang pada
akhirnya menjalin hubungan dengan Rama.
Aku
tidak pernah terfikir kalau segitiga mereka dulu dapat aku rasakan dan dengan
orang yang sama Lisa. Hatiku merasa sangat terluka karena aku tidak ingin
menyakiti Lisa ataupun Arman, atau sejak awal hanya aku memang yang tersakiti
diantara perasaan yang hanya aku yang mengetahuinya. Rasanya aku ingin pergi
jauh dari peradaban dunia agar tidak dapat melihat mereka bersama. Tapi aku
menyayangi keluarga ku, aku ingin selalu berkumpul bersama keluargaku dan
Kinaya.
“Bagaimana
ya Al, aku juga bingung. Seperti yang kamu tahu tentang ceritaku dulu. Aku
mengatakan kepada Lisa kalau aku juga jatuh hati pada Mahesa, dan aku mengajak
Lisa untuk sama-sama berjaung mendapatkan hati Mahesa dengan cara masing-masing
dan biarkan Mahesa yang memilih, karena Alana meski kita tahu perasaan kita dan
perasaan orang yang kita sayangi itu kita tidak akan bisa melakukan apa-apa
selain menunggu dia untuk menyatakan dan memilih kita. Karena wanita hanya
dapat memberi sinyal, tapi laki-laki lah yang pada akhirnya memegang kendali
memilih dan menyatakan. Meski kita wanita berhak memilih untuk tidak jatuh hati
padanya, atau memilih untuk menyimpan saja perasaan kita tapi tetap saja cinta
akan menemukan jalannya sendiri Alana”.
Perkataan
Kinaya masih terngiang di pikiranku, memutar dan terus memutar. Yah benar kata
Kinaya, bahwa kita berhak memilih untuk tetap diam atau memberi sinyal, atau
untuk menutup semua dengan rapat seolah rasa itu tidak pernah ada. Aku hanya
kecewa dengan Lisa ataupu Arman, salah satu di antara mereka tak ada satupun
yang mengatakan kepadaku tentang hubungan mereka. Benar-benar mengecewakan
orang yang aku anggap sahabat sekejap menghilang tanpa asap.
Aku
mulai menyadari perasaanku baiknya memang aku simpan dan kubur saja sedalam
mungkin, aku mulai menjauh dari Arman. Aku menghindari setiap pertemuan yang
harus mengahadirkan aku dan dia karena aku takut hatiku akan goyah. Biarlah
semua sampai disini saja. Akupun memulai kesibukkan ku untuk mengejar beasiswa
hingga akhirnya aku mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Wah awalanya berat
untukku meninggalkan kota ku, keluarga dan sahabat ku tapi mereka rela
melepasku demi memulihkan hatiku dan mencapai mimpiku.
“Ya
ampun, yang benar aja Al, kamu mau pergi ke luar negeri?” teriak Kinaya kaget mendengar
ceritaku.
“Yupz,
aku juga nggak mengira bakal lolos Nay tapi mungkin ini takdir untuk membantuku
menutup mata, telinga dari kisah mereka” ucapku dengan senyum yang entah
bagaiamanapun harus ada.
“Alana,
kamu nggak mau ketemu sama Arman dulu, udah lama lo dia nanyai kabar kamu ke
Yuna, ke Aku, dia bilang dia khawatir sama kamu”
“Buat
apa sih Nay, khawatir? Arman ngelucu yah. Sejak kapan dia peduli Nay, dulu
mungkin iya tapi dari dulu juga dia selalu punya pacar dan aku selalu jadi
pendengar dan penghibur aja dengan kedok sahabat. Aku nggak sanggup Nay
bertatap muka lagi dengan dia” ucapku dengan senyum yang tiba-tiba berubah jadi
airmata. Seketika Kinaya memelukku. Pelukkan yang akan aku rindukan nanti
disaat terpurukku.
“Alana
sayang, iya pergi aja. Pergi yang jauh dan buang semuanya tentang dia. Tapi
ingat aku, Yuna, dan Lisa tetap teman baik kamu. Kamu tahu kan Lisa juga sayang
sama kamu. Tidak ada yang salah Al, baik kamu, Lisa, maupun Arman. Mungkin
keadaan dan waktu yang menempatkan semuanya jadi rumit. Percaya sama takdir
yang baik, kamu pasti mendapat yang terbaik” hibur Kinaya yang membuat kami
berdua terisak bersama.
“Iya
Kinaya Alifah, aku sayang banget sama kamu. Ingat ya jangan nikah dulu sebelum
aku pulang. Bilang Mahesa tunda dulu lamarannya. Hahaha” Kami pun tertawa
sembari saling mengusap airmata.
Aku
sangat menyayangi sahabatku, dan aku yakin mereka pun begitu. Ayah dan ibu pun
melepas kepergiannku ke negara rantau dengan penuh haru karena anak perempuan
satu-satunya pergi. Hingga saatnya tiba di pintu pesawat, jantungku berpacu
seperti berlari 10 putaran. Aku duduk tepat dekat jendela pesawat. Yang kulihat
hanya bentangan awan putih hingga akhirnya tba-tiba airmataku menetes kembali
mengingat nasehat sahabat tersayangku yang seperti nyata tepat duduk di depan
ku memelukku.
Kinaya
benar, tidak ada yang patut aku salahkan dalam kisah ini. Baik aku maupun
mereka berdua, kita hanya terjebak dalam kisah yang disebut cinta dan dalam
cinta tidak ada yang mulus pasti harus ada pengorbanan di dalamnya. Kita yang
harus memilih apakah pengorbanan yang akan kita lakukan itu akan membawa banyak
kebahagiaan untuk kita, atau luka yang akan kita sesali. Aku tidak menyesali
langkahku untuk pergi dari kisah itu sama sekali karena inilah pengorbanan ku
untuk waktu bersama keluarga dan sahabatku sementara ini aku tunda dulu demi
masa depanku dan juga mimpiku. Keputusanku untuk pergi ini juga tepat, demi
menyembuhkan luka hatiku, dan menjauhi Arman agar dia dan Lisa bahagia, karena
mereka berdua juga sahabatku. Tidak ada yang salah dalam urusan perasaan karena
kita dapat memilih untuk bertahan dengan luka atau pergi membuat kenyataan
bahwa kita pantas untuk bahagia.
Aku
menutup kisah ku tentang dia tuhan, aku menguburnya jauh didalam kotak hati
yang kuncinya telah aku buang jauh dengan awan-awan di negara ku. Sekarang ini
aku tepat tiba di Bandara Internasional di negeri dimana aku akan memupuk
cerita baru selama beberapa tahun ke depan. Entah akan menghilang atau tidak
luka ku nanti, yang pasti aku telah merelakannya pergi. Bukan karena aku
menyerah, tapi karena kisah yang tak berarah tidak akan pernah menemukan ruang
untuk hati yang patah. Aku yang memulai perasaan ku pada Arman, maka aku juga
yang akan mengakhirinya dengan ikhlas kalau cinta pertamaku cukuplah jadi
dongeng saja.